(ilustrasi/ist) |
LAMPUNG UTARA - Sejak akhir 2015 lalu, harga singkong di pasaran saat ini terus merosot. Dari Rp1.500 per kilogram (kg), kini hanya dihargai Rp 663/kg di pasaran, atau turun hingga lebih dari 100 persen.
Anjloknya harga singkong hingga 100 persen ini tak pelak membuat para petani singkong di Lampung Utara (Lampura) menjerit. Sebab, kerja keras mereka selama ini seakan sia-sia dan tak terbayar, akibat menderita kerugian yang cukup besar.
Sayangnya, belum ada langkah konkret dari pemerintah pusat maupun Pemkab Lampura untuk mengatasi kerisauan para petani tersebut.
"Sejak Desember 2015 silam, harga singkong terus anjlok. dari Rp 1.500 per kilogram, kini turun hingga Rp663 perkilogram, turun lebih dari 100 persen," keluh koordinator Gabungan Petani Singkong Indonesia (Gapesi) Lampung Utara, Achmad Natsir, Selasa (13/9/2016).
Petani singkong di Kecamatan Abung Timur ini menuturkan, terus anjloknya harga singkong bak buah simalakama bagi para petani di daerahnya. Jika dipanen dan dijual dengan harga , tentu para petani akan menderita kerugian besar. Begitu pun sebaliknya jika tak dijual.
"Dipanen salah, enggak dipanen salah. Jadi serba salah. Saat ini, kami hanya bisa menunggu sembari berharap harga dapat kembali normal," ujarnya.
Menurut A. Natsir, memang masih ada cara lain bagi para petani sepertinya untuk mengatasi kerugian akibat anjloknya harga itu. Yakni dengan mengolah singkong mentah menjadi bahan setengah jadi atau produk siap konsumsi seperti gaplek, chip mocaf dan beras analog.
Namun, kebanyakan petani enggan melakukannya, karena mengeluarkan biaya lebih dan diperparah dengan kondisi cuaca.
"Kalau mau diolah menjadi bahan setengah jadi atau olah, kami harus keluar duit lagi. Belum lagi, kondisi cuaca saat ini yang tak begitu mendukung," jelas dia.
Mirisnya, masih kata pria yang disapa Aceng ini, belum ada langkah konkret apa pun yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Pemkab Lampura untuk menyelamatkan para petani singkong.
Padahal, singkong merupakan bagian dari tanaman pangan yang kontribusinya terhadap perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tak dapat dipandang sebelah mata.
Sebaiknya, baik Gubernur atau Bupati menerbitkan peraturan yang mengatur tentang harga terendah singkong, agar harga singkong dapat terkatrol.
"Idealnya, harga singkong itu paling tidak ada di kisaran Rp1.000 perkilogramnya. Gapesi di daerah maupun di provinsi akan menyuarakan keluhan dan harapan petani, agar ada solusi cepat terkait persoalan ini," terangnya.
Namun, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Lampung Utara, Sofyan mengklaim anjloknya harga singkong yang menyentuh harga Rp663/kg masih tetap menguntungkan petani.
"Mereka (petani) menganggapnya rugi karena terbiasa menjual di harga Rp1.000/kg. Pada harga Rp663/kg itu sebenarnya petani masih untung," kata Sofyan saat ditemui di pelataran parkir kantor pemkab.
Bahkan, lanjut dia, jika harga singkong menyentuh Rp500/kg pun, para petani juga masih untung. Karena secara matematis, biaya produksi singkong yang dikeluarkan oleh para petani biasanya hanya Rp7.000.000/hektarnya.
Dari setiap hektarnya, produksi yang dihasilkan oleh para petani dapat mencapai 30 - 40 ton asalkan dikelola dengan baik.
"Kalau per hektarnya dapat menghasilkan 30 ton dikalikan Rp500 per kilogram, maka total uang yang dihasilkan mencapai Rp 15 juta. Artinya, petani masih untung seratus persen," paparnya.
Saat disinggung langkah apa yang dapat dilakukan pemkab, Sofyan mengaku tak ada yang bisa dilakukan pihaknya terkait persoalan ini.
"Idealnya, harga singkong itu paling tidak ada di kisaran Rp1.000 perkilogramnya. Gapesi di daerah maupun di provinsi akan menyuarakan keluhan dan harapan petani, agar ada solusi cepat terkait persoalan ini," terangnya.
Namun, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Lampung Utara, Sofyan mengklaim anjloknya harga singkong yang menyentuh harga Rp663/kg masih tetap menguntungkan petani.
"Mereka (petani) menganggapnya rugi karena terbiasa menjual di harga Rp1.000/kg. Pada harga Rp663/kg itu sebenarnya petani masih untung," kata Sofyan saat ditemui di pelataran parkir kantor pemkab.
Bahkan, lanjut dia, jika harga singkong menyentuh Rp500/kg pun, para petani juga masih untung. Karena secara matematis, biaya produksi singkong yang dikeluarkan oleh para petani biasanya hanya Rp7.000.000/hektarnya.
Dari setiap hektarnya, produksi yang dihasilkan oleh para petani dapat mencapai 30 - 40 ton asalkan dikelola dengan baik.
"Kalau per hektarnya dapat menghasilkan 30 ton dikalikan Rp500 per kilogram, maka total uang yang dihasilkan mencapai Rp 15 juta. Artinya, petani masih untung seratus persen," paparnya.
Saat disinggung langkah apa yang dapat dilakukan pemkab, Sofyan mengaku tak ada yang bisa dilakukan pihaknya terkait persoalan ini.
Begitu pun saat ditanya mengenai kemungkinan pembuatan regulasi yang mengatur tentang harga terendah singkong, agar dapat membantu para petani, dia menegaskan hal itu mustahil dilakukan.
"Tak ada yang bisa kami lakukan dalam persoalan ini. Apalagi membuat aturan tentang itu, karena itu ranahnya Kementerian Perdagangan," ujar dia. (aby)
"Tak ada yang bisa kami lakukan dalam persoalan ini. Apalagi membuat aturan tentang itu, karena itu ranahnya Kementerian Perdagangan," ujar dia. (aby)